Friday 14 January 2011

Book Review Norma Cook Everist

Book Review

(Norma Cook Everist, The Church As Learning Community, Nashville: Abingdon Press, 2002)

Everist memberikan sebuah pemaparan yang sangat penting menyangkut dengan model pembelajaran di gereja yang relevan, berdampak dan memilki dasar Alkitab yang kuat. Dalam pembahasan buku ini dibagi dalam tiga bagian besar yaitu berkumpul untuk belajar bersama-sama, tantangan dalam pertumbuhan iman dan yang terakhir gereja bisa diutus untuk melayani. Penulis mengarahkan setiap pembaca untuk memikirkan ulang model pembelajaran yang ada di gereja dan salah satu yang menjadi penekanan dalam bukunya yaitu belajar dalam sebuah komunitas.

Komunitas sangat berperan penting dalam pembelajaran. Khususnya dalam mendewasakan iman seseorang. Kadang kala iman harus mengalami pengujian ketika terjun dalam sebuah komunitas. Dan Sesungguhnya gereja adalah komunitas. Namun komunitas yang dimaksud bisa saja berbeda-beda baik itu secara kuantitas maupun secara kualitas. Everist mengatakan bahwa kadang kala di dalam komunitas dibagi menjadi dua bagian yaitu guru dan murid/pembelajar. Namun dalam komunitas learning, Everist mengatakan bahwa “In the christian learning community where all become speakers of the word as well as hearers, where the three year old is teacher and the seventy six year old is learner,the word comes round once more, as a gift. Jadi semua peserta atau anggota bisa mengemukakan pendapat dan kadang kala pendapat itu menjadi guru bagi setiap anggota komunitas. Sesungguhnya pola komunitas ini telah ada di dalam alkitab, bahkan pola pembelajaran dalam komunitas sudah dimulai dalam budaya atau tradisi yahudi dan diteruskan di dalam PB, Everist mengutip surat Paulus kepada jemaat di Korintus yang pertama. Dia mengatakan bahwa konsep komunitas dalam surat Paulus sangat jelas sekali yang mengatakan bahwa kita adalah orang-orang kudus yang punya hak yang sama di mana hak yang diberikan itu bersifat anugerah kepada kita ketika belajar dalam sebuah komunitas. Dalam pembelajaran komunitas juga selalu ada jalinan kasih dan kepedulian, walaupun mungkin tidak selalu bersama-sama secara fisik, tetapi dalam hal keterikatan emosi senantiasa tercipta, sehingga setiap anggota tidak merasa hidup sendiri.

Kadang kala keefektivan belajar dalam komunitas tergantung bagaimana mengcreate dengan kreativ proses pembelajarn yang tercipta di dalamnya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam satu komunitas memiliki masalah, karakter, kebiasaan atau budaya yang berbeda-beda. Seorang leader harus mengcover semua kebutuhan anggota gereja, minimal mereka merasakan bahwa perhatian itu dirasakan oleh mereka. Kadang kala mereka mengancam untuk tidak datang lagi karena ada masalah intern atau kadang kala ada yang tidak bisa berbicara dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang timbul. Oleh sebab itu beberapa usulan dari Everist bahwa seorang leader harus memiliki: Safe, trustworthy, hospitable, healthy boundaries. Sementara karakter di antara anggota komunitas juga harus dibangun misalnya: Strenght, Patience, Joy, and Freedom. Memang tidak mudah untuk melakukan, tetapi kalau hal ini tercipta akan memberikan dampak kepada anggota yang lain bahkan kepada lingkungan pergaulan kita. Everist mengatakan bahwa scope dari pembelajaran di lingkungan bisa dilakukan di dalam kelas, keluarga, gereja, tetangga, Gereja besar, bangsa, dan lain sebagainya.

Melakukan pembelajaran di dalam komunitas memerlukan metode-metode yang sangat baik yang tentunya sesuai dengan kebutuhan komunitas tersebut. Karena kadang kala metode yang digunakan membosankan dan akhirnya komunitas tersebut tidak hidup. Everist menawarkan 8 aspek dalam melakukan pembelajarn di komunitas yaitu: Community, Confrontation, Study, Discussion, Individual, Reflection, Experience, Presentation.

Seiring dengan berjalannya waktu, seorang kristen harus bertumbuh dalam sebuah komunitas. Namun tantangan yang dihadapi ternyata tidak mudah. Menggumuli akan iman merupakan perjalanan seumur hidup dan itulah yang dikatakan oleh Everist bahwa pembelajaran dalam sebuah komunitas membutuhkan waktu yang panjang. Dalam bukunya dia membahas beberapa pandangan-pandangan dalam membagi setiap fase-fase umur manusia. Namun yang jelas dari setiap pakar tersebut sudah memikirkan di dalam kesadaran mereka bahwa mulai dari lahir sampai matinya manusia itu mereka harus menikmati proses pembelajaran dalam komunitas baik itu secara informal maupun formal. Everist mengatakan dalam mengembangkan sebuah komunitas perlu beberapa unsur yang harus dierhatikan ketika merencanakan proses pembelajaran, yaitu: The people, the setting, the text, central theme, objectives, cognitive, affective, Life-related, gathering, moving into new learning, responding to learning, expanding the learning, extended possibilities, and after the session/ evaluasi.

Keberadaan gereja sebagai konfirmasi dari sebuah komunitas. Di dalam komunitas itu masih terdapat orang-orang yang berjuang dengan iman dan kehidupan moral. Gerejalah tempat orang untuk mengkonfirmasi dan menguji kehidupan dan pemahaman kebenaran yang selama ini diyakini. Namun perlu disadari seperti yang dikatakan Everist bahwa we do not make our confirmation. God confirms what God has done already in baptism. The communion of saints, the body of Christ, is called confirm one another in the faith, the proclaim,instruct, educate, nourish, and support one another.

Salah satu tantangan dalam pembelajaran di komunitas yaitu memperlengkapi orang-orang supaya bisa menjadi pengajar , sehingga regenerasi tetap berjalan. Kadang kala gereja mau mendapatkan guru tetapi mereka tidak mau memperlengkapi. Paulus mengatakan dalam surat di Efesus bahwa para pemimpin gereja harus memperlengkapi orang-orang kudusnya untuk sebuah kelanjutan pelayanan. Everist mengatakan ada beberapa tahap yang harus dilalui ketika gereja mau memperlengkapi orang-orang kudusnya, yaitu: preliminary, preparatory, Immediate, Concurrent, Post and perspective. Dalam mempersiapkan seorang guru, beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pengetahuan biblika, pengetahua teologi, methodology, developmentally, administratively and spirituality.

Proses pembelajaran yang terjadi di komunitas tidak boleh hanya berhenti di komunitas itu saja. Tetapi mereka harus diutus ke dunia luar untuk memberikan pembelajaran kepada mereka yang juga membutuhkan Injil.

Pembelajaran di komunitas juga harus memberikan connecting kepada panggilan gereja di mata dunia. Banyak gereja menghabiskan segala sumber daya untuk kepentingan mereka sendiri. Pada hal Tuhan memerintahkan kita untuk keluar memberitakan Injil. Gereja harus menjalin relasi dengan dunia untuk sebuah kepentingan yang agung yaitu membawa mereka untuk berjumpa secara pribadi dengan Tuhan Yesus.

Pendidikan di gereja lokal harus menjangkau dunia yang sangat pluralistic. Everist mengatakan bahwa every parish is set in larger cultural context that is full of competition for the parishioners’ loyalty. Even “secular” society religious questions pervade our lives, and the popular answer add up to a rich and sometimes confusing pluralism. Gereja harus menemukan cara untuk mendekati dunia yang sangat plural tetapi tanpa mengorbankan kebenaran-kebenaran yang bersifat ortodoks.

Dari buku ini memberikan banyak pengetahuan baru bagi pembaca, khususnya bagaimana menciptakan dan merancang budaya belajar di lingkungan gereja. Salah satu kekuatan buku ini sangat komprehensif dalam menjabarkannya. Dari pembacaan juga, saya bisa menyadari bahwa kekuatan pembelajaran di setiap komunitas sangat dahsyat. Yang walaupun penulis juga menyadari bahwa tidak mudah untuk mengelolah atau membangun proses pembelajaran di komunitas.

Friday 7 January 2011

EVALUASI PEMIKIRAN MARIA HARRIS DAN D. CAMPBELL WYCKOFF

MENDESIGN KURIKULUM PENDIDIKAN KRISTEN : SUATU TINJAUAN DAN EVALUASI PEMIKIRAN MARIA HARRIS DAN D. CAMPBELL WYCKOFF

PENDAHULUAN

Istilah kurikulum bukanlah istilah asing di dalam dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan kristen. Tetapi bukan berarti bahwa istilah itu sudah dimengerti oleh orang-orang yang menjalankannya. Banyak orang tua atau guru-guru konvensional bila ditanya “apa yang dimaksud dengan kurikulum” akan menunjukkan kepada jawaban di sekitar bidang studi atau mata pelajaran. Dalam hal ini kurikulum diartikan sebagai isi pelajaran atau kumpulan pelajaran yang akan disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh siswa.[1] Hal ini juga tentunya berdampak kepada kelangsungan pembinaan atau pendidikan dalam lingkup gereja. Tidak sedikit gereja-gereja menjalani pembinaan iman tanpa dibuatkan kurikulum. Sehingga banyak hamba Tuhan juga berpikir bahwa berbicara tentang kurikulum hanyalah seputar “isi atau content khotbah”. Namun pemahaman ini berkembang, kurikulum tidak dipandang sebagai hanya isi pelajaran, tetapi lingkupnya diperluas menjadi pengalaman belajar. Jadi apa yang dimaksud dengan kurikulum menjadi lingkup yang sangat luas. Pengalaman ini dapat terjadi di sekolah atau masyarakat, dengan atau tanpa guru, berkenaan langsung atau tidak langsung dengan mata pelajaran.[2]

Secara etimologi,kata “kurikulum” terambil dari bahasa Latin yang memiliki makna yang sama dengan kata “race source” yang berarti gelanggang perlombaan. Kata kurikulum dalam bentuk kata kerja yang dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah “curere” yang berarti menjalankan perlombaan.[3] Jadi kurikulum dapat diartikan sebagai suatu pengalaman pembelajaran yang secara sengaja dirancang untuk mengarah kepada tujuan tertentu.[4]

Meskipun dalam beberapa bagian tertentu para pakar pendidikan memiliki kesepakatan dalam menguraikan atau mendeskripsikan mengenai kurikulum yang baik, tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa masing-masing pakar mempunyai pendekatan dalam mengarahkan setiap orang yang mau membuat kurikulum khususnya dalam pendidikan kristen. Oleh sebab itu melalui tulisan ini, penulis mencoba untuk menguraikan, membandingkan dan mengevaluasi pemikiran dari dua pakar pendidikan kristen yaitu Maria Harris[5] dan D. Campbell Wyckoff[6]. Kiranya melalui tulisan ini akan lebih memperkaya pembaca dalam mendesign sebuah kurikulum yang baik dan dapat diimplementasikan di setiap lingkup pendidikan kristen atau secara khusus di gereja.

I. PANDANGAN D. CAMPBELL WYCKOFF

Wyckoff mengatakan bahwa Curriculum is experience under guidance toward the fulfillment of the purposes of Christian education not the entire social situation within which the person acts and with which he is interacting, but rather that part of it which is consciously planned. Wyckoff mendefenisikan kurikulum secara luas menyangkut dengan pengalaman, tujuan dan situasi di mana kurikulum itu akan dibuat. Oleh sebab itu dia menegaskan lagi bahwa a curriculum is a carefully devised channel of communication used by the church in its teaching ministry in order that the Christian faith and Christian life may be known, accepted, and lived. Wyckoff menjelaskan bahwa kurikulum sebenarnya bukanlah tujuan tetapi sarana komunikasi yang direncanakan oleh gereja dan digunakan oleh gereja untuk mengajarkan tentang iman kristen sehingga iman kristen dapat dikenal dan memberikan dampak kepada lingkungan atau konteks di mana gereja berada. Jadi bagi Wyckoff kurikulum itu sangat penting untuk pertumbuhan iman seseorang. Bahkan dia mengatakan lagi bahwa the curriculum of Christian education will be adequate to the times to the extent that through it the redemptive impact of the gospel is felt by the individual, the church, and society. Apa yang dimaksud Wyckoff dengan pendidikan kristen adalah bukan hanya di gereja tetapi juga menyangkut seluruh aktivitas orang kristen. Boleh dikatakan bahwa ketika membuat sebuah kurikulum harus menyentuh dan memberikan dampak kepada orang tersebut baik itu ketika dia di rumah, bekerja, Boleh dikatakan bahwa ketika membuat sebuah kurikulum harus menyentuh dan memberikan dampak kepada orang tersebut baik itu ketika dia di rumah, bekerja, bermain dan lain sebagainya.

Keseriusan Wyckoff dalam menelusuri betapa pentingnya kurikulum dalam pendidikan kristen adalah ketika mencoba menguraikan bagaimana peran dan perkembangan kurikulum dalam sejarah gereja khususnya yang beraliran protestan. Seolah-olah dia ingin membawa dan memperlihatkan kita bahwa sejarah telah membuktikan bahwa sebenarnya kurikulum itu sudah dimulai dari pola pendidikan agama Yahudi,di mana dia mengutip dalam Ul. 6:1-9. Hal tersebut mengalami perkembangan sampai sekarang ini. Wyckoff menguraikan beberapa prinsip-prinsip yang harus dimiliki ketika membangun atau merancang sebuah kurikulum di dalam lingkungan pendidikan kristen atau gereja.

Wckoff mengatakan bahwa the question of objectives has already proved to be an important one for curriculum. Studies of objectives turn out to be studies of curriculum or at least to have significance for curriculum development. Boleh dikatakan pertanyaan tentang objektiv sebuah kurikulum sangat menentukan arah dari kurikulum itu sendiri. Dan ini adalah salah satu unsur ketika membangun atau merancang sebuah kurikulum harus memiliki objektiv. Mungkin kalau disederhanakan bahwa objektiv yang dimaksud adalah sasaran dari kurikulum tersebut. Merumuskan sebuah objektiv dalam kurikulum tidaklah mudah. Hal ini diakui juga oleh Wyckoff ketika dia mengatakan bahwa banyak teori tentang kegunaan objektiv kadang kala hanya berkenaan dengan proses evaluasi bukan pada saat perencanaan dan pengorganisasian proses belajar dalam kurikulum.

Kemudian Wyckoff juga memberikan beberapa pertanyaan reflektif yang bisa dijadikan dasar atau pola dalam menyusun sebuah kurikulum yaitu : 1) Where is the curriculum? 2) What is in the curriculum? 3) Why is the curriculum? 4) How is the curriculum? 5) In what way shall the curriculum be organized? 6) By what means shall the curriculum be organized? Oleh sebab itu Wyckoff mengatakan bahwa Christian edocators must seek information from these source by asking the right question. Only as the questions are clear and accuratelystated may useful answer be given.

Wyckoff memberikan sebuah keterbukaan kita dalam menyusun sebuah kurikulum,khususnya dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Dia mengatakan bahwa the question about Jesus Christ calls for all the resources of theology and “experimental religion”. The question about man call upon theology, philosophy, psychology,and sociology in particular. All are deeply and normatively influenced by revelation the gospel, the word. Beberapa disiplin ilmu yang menolong kita dalam mendesign sebuah kurikulum adalah: 1) Theology’s scope is the interpretation of revelation and the application of the insight thus derived to the problems of life. 2)Philosophy scope is the analysis and interpretation of reality (metaphysics),knowledge (epistemology), and value(axiology). 3) History’s scope as a discipline is the meaningful reconstruction of events. 4) Psychology’s scope is the study of individual personality and behavior. 5) The scope of sociology is the study of social groups and movements. 6) The scope of the discipline of communications is the study of the interpretation of ideas, feelings, and behavior among persons and groups. Namun Wyckoff memberikan sebuah penekanan bahwa ketika membangun sebuah kurikulum, teologylah yang harus menjadi fondasi sebuah kurikulum. Wyckoff juga mengatakan bahwa Theology has two curricular functions: it’s to be taught as subject matter, and it is to be used as a source of insight and direction in determining the context, scope, purpose, process, and design of the curriculum.

Jika kurikulum dirancang di mana proses pembelajaran berlangsung dan dilakukan oleh gereja secara sistematis maka yang harus menjadi orientasi dari kurikulum tersebut adalah context, scope, purpose dan process. Wyckoff mengatakan bahwa the question of the context of Christian education and its curriculum is the question of their normative surroundings. Konteks dalam membuat kurikulum sangat penting karena hal tersebut aka n membuat sebuah kurikulum terfokus dan bisa diimplementasikan. Lanjut Wyckoff mengatakan bahwa fundamentally, Christian education takes place where the community of persons in Christ worships, witnesses, and works. This community has a life, a message, a mission, and heritage; brought into being, sustained, and directed by God, it continues his reconciling work in Jesus Christ. The gospel is its message; the Holy Spirit is its power; love is its mood. The life it lives and the work it does are as varied as the expressions it finds in the home, the school, the neighborhood, the congregational life and worship, the missionary enterprise, Christian service and social action, and all the ways in which the ecumenical spirit is brought to reality. Jadi inilah yang menjai konteks dari kurikulum pendidikan kristen, yaitu meliputi seluruh aspek kehidupan.

Hal yang kedua yaitu scope, Wyckoff mengatakan bahwa the use of term ‘scope’ to differentiate among various types of objectives. Some of the more common references to scope are in terms of essential curriculum content, areas of curricular experience, areas of subject matter, curriuculum elements, themes, general objectives, the great concerns of the Christian faith and the Christian life, and centers of attention within the field of relationships. The scope of Christian education-comprehensive, inclusive, and weighed Biblically and extentially becomes that of the revised formulation. Kalau boleh disederhanakan bahwa scope yang dimaksud oleh Wyckoff adalah cakupan dari kurikulum itu sendiri, harus meluas dalam artian memberikan dampak secara besar dan juga harus spesifik dalam artian sasaran yang dituju harus mengerucut.

Point yang ketiga dari prinsip dasar sebuah kurikulum adalah purpose, Wyckoff mengatakan the purpose of the curriculum is the purpose of Christian education, that the whole field of relationships may be seen and dealt with in this news perspective of the gospel. The heart of the objective is in awareness and response: awareness of revelation and the gospel, and response in faith and love. Tujuan aka menentukan arah sebuah kurikulum dan Wyckoff memberikan awasan kepada kita bahwa tujuan kurikulum itu harus berada dalam wilayah pendidikan kristen dan bukannya ke tujuan-tujuan yang lain.

Kemudian hal yang tidak kalah pentingnya dari sebuah design kurikulum adalah proses berlangsungnya sebuah pembelajaran. Wyckof mengatakan bahwa learning, in effect, involves all the factors discussed under the question of the behavioral sciences. It is a matter of the development of personality through the gaining and refining of experience, a matter of the use and transformation of motives. It calls for discriminating use of the varieties of learning processes, takes place in accordance with the patterns of human growth and development, and is deeply influenced by the culture, the society, and the groups of which the individual is a member. Oleh sebab itu proses pembelajaran dalam sebuah kurikulum jangan sampai terabaikan. Kebanyakan kegagalan kurikulu karena tidak mempunyai kejelasan proses pembelajaran yang ada didalamnya. Di dalam proses juga terdapat sebuah pengorganisasian. Bagaimana mengorganized sebuah kurikulum juga mendapatkan penekanan dari Wyckoff.

Wyckoff memberikan lagi dua hal yang sangat penting ketika membangun atau merancang sebuah kurikulum adalah sequence, yaitu kurikulum yang tersusun secara berurutan adalah hal yang penting untuk sebuah perkembangan dan keberlangsungan dan flexibility, yaitu hal yang berbeda dalam setting pendidikan, metode dan di antara individu, komunitas dan budaya. Apa yang dimaksudkan oleh Wyckoff bahwa ketika kurikulum selesai harus terlihat keterkaitan satu dengan yang lain, bagaikan mata rantai yang saling mengikat dan tidak berdiri sendiri dan juga harus fleksibel di dalam menerapkannya. Tentunya kefleksibelan sebuah kurikulum bukan berarti tidak mempunyai batasan.

Wyckoff juga memberikan beberapa guidance dalam membuat materi kurikulum. Apa yang dipaparkan sebelumnya merupakan petunjuk dalam mendokumenkan kurikulum. Wyckoff mengatakan beberapa prinsip dalam membuat isi atau materi kurikulum yaitu: 1) Prinsip dasar kurikulum. 2) Penjelasan secara rinci tentang tugas belajar dalam pendidikan kristen. 3) Suatu analisa dari pelajaran/kurikulum. 4) Pembahasan para pelajar. 5) Suatu pembahasan bagaimana proses situasi belajar-mengajar dalam satu kelompok atau individu. 6) Analisa pengalaman belajar dasar, dalam hal acara dan aktivitas. 7)Suatu analisa dan penilaian bentuk dasar dari sumber-sumber materi. 8)Analisa menyeluruh segala kemungkinan dalam hal langkah pengembangan. 9) Satu pembahasan bagaimana mengevaluasi program, proses dan pencapaian kelompok maupun individu. 10) Suatu pembahasan bagaimana menganalisa satu jemaat lokal dan membangun satu kurikulum.

II. PANDANGAN MARIA HARRIS

Maria Harris mengawali juga pembahasannya dengan mengungkapkan suatu pertanyaan mendasar dalam mendesign sebuah kurikulum adalah “who is fashioning?” the respons is “God and ourselves”. Sesuai dengan judul bukunya yang mengatakan fashion me a people. Dia memberikan dasar alkitabnya dalam Yes. 29:16; Yer 18:6b; Rm 9:20-24; Kis 2:42,44-47, di mana dia ingin menjelaskan bahwa Sesungguhnya keberadaan kita ditentukan seperti apa pembentukan kita. Allah membentuk kita seperti ini, makanya seperti inilah kita apa adanya. Dengan kata lain bahwa Harris mengakui bahwa kurikulum ini sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan iman orang kristen. Harris juga menyadari bahwa pengertian kurikulum memiliki keberagaman dan tidak ada satu defenisi yang bisa dimutlakkan, seperti yang dikatakan: At the same time, curriculum a term has been associated largely-and correctly, in my view-with the notion of “subject matter”. Over the last century, although a substansial body of theory has developed around these two simple ideas (sometimes spoken of as process and content), no one definition of curriculumexist. Namun lanjut Harris katakan bahwa bukan berarti kurikulum tidak mempunyai arti atau makna. Tetapi curriculum has multiple meanings, and in some instances the meanings are in conflict.

Pemikiran Harris berangkat dari pemahaman gereja itu sendiri ketika membuat kurikulum. Boleh dikata bahwa gereja harus menjadi pusat kegiatan pembelajaran. Di gereja harus berjalan pelayanan pastoral. Harris mengatakan bahwa The Word continually becoming flesh, in us, completes the image. For not only are we coming to understand ourselves more and more as a people; we now realize that we are a people with a pastoral vocation. Oleh sebab itu bagi Harris ketika membuat kurikulum semua bisa dilibatkan. Hal ini terbukti ketika dia mengatakan bahwa we are people, we are called to come together accros the boundaries of preacher and teacher, clergy and laity, professional and amateur, part time and full time, and realize that in partnership with one another and our Creator God we are angaged in the same fashioning work begun Genesis.

Harris menegaskan bahwa seharusnya pusat pendidikan berada di gereja dan harus terus berjalan. Dia juga sempat menyinggung dua kesalahan besar yang dipahamai orang ketika berbicara pendidikan, yaitu : the first misunderstanding is that education is for children. The second misunderstanding gripping the educational imagination is the false identification of education with only one of its forms: schooling. Jadi bagi Harris seharusnya pendidikan itu bersifat seumur hidup dan sebagai konsekuensinya bahwa kurikulum di gereja harus dibuat dalam batas waktu yang tidak ditentukan. Atau dengan kata lain keberadaan kurikulum tergantung dari masa waktu kelangsungan gereja itu sendiri.

Harris memberikan lima prinsip dalam mendesign sebuah kurikulum yaitu:

1. As church people, we must consistently distinguish between the curriculum of education and the curriculum of schooling

2. The curriculum of educational ministry is multiple

3. Subject matter has many layers

4. The curriculum must be priestly, prophetic, and political

5. The curriculum must take into account three forms: the explicit curriculum, the implicit curriculum, and the null curriculum.

Harris mengatakan juga bahwa the understanding of education that I am advocating as foundation for curriculum will also assume that the forms of ministry are interrelated. Community, for example,will have elements of kerygmatic speech, of teaching,of outreach, and of prayer; worship will have elements of community, teaching, outreach, and prophetic speech. Teaching will necessarily incorporate elements of outreach, prayer, community, and kerygma. Just as we have discover, similarly, that to be any one form of ministry is also to be with all the others. Only then can they be complete. Apa yang dimaksudkan Harris tentunya menyangkut kesatuan dari kurikulum yang dibuat harus berdasarkan panggilan gereja itu sendiri. Oleh sebab itu dalam bukunya dia memberikan penjelasan khusus menyangkut dengan apa yang diungkapkan di atas.

Koinonia: The curriculum of community, Harris mengatakan bahwa in choosing to begin with koinonia, rather than with teaching or worship, I am proposing community and communion as the initial educational ministry. Tentunya pendekatan Harris mengarah kepada sentuhan kasih kepada orang-orang yang akan dijangkau. Dia mengatakan bahwa kadang kala kelemahan sebuah komunitas selalu dimulai dari ibadah dan pengajaran, tetapi jarang sekali diawali dengan merebut hati mereka. Hal ini diperkuat ketika berbicara komunitas. Di dalam semua komunitas pasti ingin diterima dan dikasihi dan dengan demikian membuat dia bisa bertahan dan merasa nyaman di komunitas itu. Mungkin inilah yang dimaksudkan Harris ketika membuat kurikulum harus melibatkan sentuhan sosial. Oleh sebab itu dia mengatakan bahwa As the word signifies,this is the ministry that moves us toward the healing of division, toward overcoming brokenness, ultimately toward achieving wholeness. One Christian is no Christian; We go to God together or we don’t go at all. In terms of fashioning a people,this works by giving us there aspects of community: as governing reality; as convicting reality; and as as-yet-unrealized and incomplete reality.

Leiturgia: The curriculum of prayer, Harris mengatakan bahwa although prayer is often taught specially as part of the curriculum of schooling, our focus here is prayer as component of the curriculum of educational ministry. We are educated to prayer and we are educated by prayer. Harris melanjutkan bahwa pada dasarnya doa berarti permintaan, petisi, jeritan, namun sering secara khusus dalam kehadiran Sang Ilahi, tercakup di dalamnya pujian, pengucapan syukur dan penyesalan atas kesalahan dan kejahatan kita. Suatu pembelajaran yang baik memperkenalkan kita kepada istilah ACTS(Adoration, Contrition, Thanksgiving, Supplication). Harris menganggap bahwa Betapa pentingnya doa dalam mendesign sebuah kurikulum.

Didache: The curriculum of teaching, Harris mengatakan bahwa pengajaran adalah sesuatu yang sentral dalam sejarah kekristenan. Hal tersebut dapat dilihat mulai dari perintah Allah kepada umat pilihan-Nya di dalam Ul. 6:6-7 sampai kepada kehidupan gereja mula-mula yang tekun dalam pengajaran rasul-rasul dan oleh Harris menggunakan istilah didache menunjukkan kepada kurikulum pengajaran. Kurikulum pengajaran yang dimaksud oleh Harris harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Pertma, batang Tubuh dari pengetahuan dan perilaku yang hendak diajarkan; Kedua, Kesatuan proses di mana pengetahuan itu dikomunikasikan. Keduanya adalah esensi dalam pembentukan kurikulum. Harris juga membagi dua bentuk pengajaran, yaitu: Pertama, bentuk internal yang terdiri dari Katekisasi dan khotbah; Kedua, bentuk kontemporer yang berupa tindakan reinterpreting, questioning, analyzing, rejecting, and resisting. Kedua bentuk ini saling melengkapi dalam perwujudannya.

Kerygma: The curriculum of proclamation, di mana Harris mengatakan bahwa kerygma selalu berhubungan dengan dua hal, yaitu Apa yang kita beritakan dan Bagaimana caranya kita memberitakan. Bagi kita orang kristen pesan yang kita beritakan adalah tentang suatu proklamasi aka kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah yang menyelamatkan. Harris membagi tiga bentuk kerygma, yaitu 1) Alkitab sebagai firman Allah. 2) Teologi sebagai bentuk kecerdasan yang bekerja untuk memberikan makna yang terkandung di dalam cerita-cerita alkitab dan mengaktualisasikannya dalam dunia nyata umat Tuhan hari ini. 3) Khotbah, yang mau tidak mau pasti didengarkan oleh jemaat atau khalayak ramai.

Diakonia: The curriculum of service, Harris membagi dua elemen besar, yaitu: 1) Restraining Elements, di mana seringkali ada pembatasan pada kurikulum ketika berbicara tentang diakonia. Kadang kala ditujukan hanya sebagai tugas kantor atau tugas khusus yang hanya pada pastor atau pelayanan pendidikan, pejabat tertentu. padahal pelayanan diakonia menjadi tanggung jawab setiap orang kristen dalam komunitasnya. 2) Liberating Elements, di mana Alkitab mengajarkan bahwa senantiasa mengasihi sesame manusia seperti diri kita sendiri, maka dalam konteks ini gereja harus memiliki sikap melayani sebagai pengucapan syukur. Harris juga mengemukakan beberapa bentuk pelayanan diakonia, misalnya Social care, social ritual, social empowerment dan social legislation

Di akhir bukunya Harris memberikan beberapa rules dalam menyusun sebuah kurikulum, yaitu

1. Discover needs/ interests

2. Set general goals

3. Define specific objectives (making sure they are clear, specific, realistic, and measurable)

4. Design a program

5. Examine your resources

6. Determine an evaluation procedure

III. EVALUASI PANDANGAN D. CAMPBELL WYCKOFF DAN MARIA HARRIS

Wyckoff telah memberikan suatu dasar-dasar dalam membangun kurikulum pendidikan kristen, tempat pijakannya dalam membangun kurikulum pendidikan kristen dimulai dari defenisi kurikulum itu sendiri. Namun Harris memberikan pijakan yang berbeda, Harris membangun pijakannya dari panggilan gereja itu sendiri. Hal ini terlihat bagaimana dia menegaskan bahwa gereja ada karena keterlibatan Tuhan dan manusia dalam kelangsungan gereja. Penulis sependapat dengan Wyckoff bahwa ketika kurikulum dibangun di atas dasar defenisi itu sendiri, berarti kurikulum bukanlah tujuan dari pertumbuhan iman, tetapi sebuah sarana atau jembatan dalam mencapai kedewasaan iman. Sementara seolah-olah apa yang dipaparkan oleh Harris cenderung ke arah bahwa kurikulum merupakan salah satu tujuan kedewasaan iman.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Harris memberikan sumbangsih yang besar dalam membangun sebuah kurikulum. Dia menegaskan bahwa kurikulum adalah tanggung jawab gereja, karena dia meyakini bahwa gereja harus menjadi pusat pendidikan. Hal ini terlihat sekali ketika dia banyak membahas akan panggilan gereja di tengah-tengah dunia. Sementara Wyckoff yang walaupun sempat menyinggung tentang panggilan gereja tetapi kurang memberikan penekanan. Apalagi Wyckoff memberikan cela bahwa berbicara pendidikan kristen bukan hanya fokus di gereja, tetapi di mana saja bisa dilakukan. Penulis berpendapat bahwa pusat pendidikan kristen seharusnya berada di gereja. Kurikulum pertumbuhan iman atau kedewasaan iman jemaat harus dimulai dari gereja. Di gerejalah jemaat akan diarahkan untuk menjadi saksi, garam dan terang di lingkungan di mana mereka berada, entah itu di keluarga, tempat pekerjaan, sekolah, masyarakat dan di mana saja. Gereja harus secara sadar memikirkan akan kehadiran umat harus memberikan dampak kepada umat.

Wyckoff sangat kritis juga dengan implementasi kurikulum dalam sejarah gereja. Secara tidak langsung bahwa apa yang diungkapkan Wyckoff memiliki kekuatan yang dahsyat ketika membangun kurikulum. Beberapa gereja yang gagal membangun kurikulum karena tidak menilik atau menggali kekayaan sejarah gereja mereka. Tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sangat positif dalam membangun sebuah kurikulum, harus melihat sejarah atau story dari gereja tersebut. Harris sekali lagi kadang kala terlalu people oriented, sehingga kadang kala melupakan hal-hal tersebut. Kecenderungan pemikiran Harris bisa mengarah kepada humanistik (yang walaupun penulis yakin bahwa mungikin Harris secara pribadi tidak seperti itu) karena selalu berangkat dari pemikiran atau kebutuhan manusia. Hal ini bisa berdampak kepada evaluasi. Karena bagaimanapun kadang kala wilayah kedewasaan rohani seseorang tidak bisa kurikulum dijadikan satu-satunya alat ukur.

Namun meskipun demikian Wyckoff dan Harris punya kelebihan dan kekurangan bukan berarti mereka berdua tidak memberikan sumbangan dalam dunia pendidikan kristen. Bagaimanapun mereka sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan kristen khususnya menyangkut dengan design kurikulum. Oleh sebab itu apa yang diungkapkan oleh Harris dan Wyckoff ketika dipadukan akan menjadi sebuah panduan yang sangat berarti bagi gereja. Mungkin dalam tataran prinsip yang fundamental hampir sama misalnya ketika merancang kurikulum harus memperhatikan, konteks, pertanyaan-pertanyaan harus diajukan dengan tepat, keastuan dalam kurikulum, kesinambungan dalam kurikulum dan dampak dihasilkan.

Apa yang diungkapkan Wyckoff mengenai design kurikulum harus melibatkan disiplin ilmu-ilmu yang lain, sementara Harris memberikan gebrakan yang sangat luar biasa (yang walaupun dia berlatar belakang gereja katolik) mengatakan bahwa semua bisa terlibat dalam pembuatan kurikulum. Mungkin kalau dibahasakan secara sederhana bahwa kurikulum bukan hanya tanggung jawab gembala atau pendeta tetapi tanggung jawab setiap warga gereja, karena Harris yakin bahwa semua bisa terlibat dalam pembuatan kurikulum dan pengimplementasiannya, yang mungkin bisa saja berbeda-beda dalam perannya. Kemudian satu hal yang perlu ditekankan bahwa mereka berdua sangat menekankan firman Tuhan sebagai subject matter dalam membangun kuriklum. Oleh sebab itu hal ini harus terus dipelihara karena Alkitab merupakan inti pengajaran dari iman kristen.

IV. KESIMPULAN

Demikianlah kedua pakar pendidikan Kristen yaitu Wyckoff dan Harris telah memberikan warna yang luar biasa dalam dunia pendidikan Kristen, khususnya menyangkut dengan design kurikulum. Apa yang mereka paparkan menjadi tantangan bagi gereja sekarang ini bahwa kadang kala kegagalan gereja dalam membina umatnya karena tidak mempunyai kurikulum yang baik. Memang untuk memulai membuat kurikulum dalam suatu gereja tidaklah mudah, karena hal ini membutuhkan pengorbanan, kerja keras dan tidak mudah putus asa. Tetapi bukan berarti kita give up dan tidak bisa berbuat apa-apa. Minimal gereja harus memulai sekarang untuk mendesign kurikulum, memberikan kesempatan kepada jemaat untuk berkarya dalam pembuatan kurikulum. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa di setiap gereja pasti ada orang-orang yang mau terbeban dan berani untuk memberikan waktu mereka untuk membantu dalam pembuatan kurikulum.



[1] Persentase materi kuliah dari Ibu Astri Sinaga, 6 Sept. 2010

[2] Ibid

[3] Lias Hasibuan, Kurikulum dan Pemikiran Pendidikan, (Cipayung: GP Press, 2010) 2.

[4] Persentase materi kuliah dari Ibu Astri Sinaga, 6 Sept. 2010

[5] Maria Harris dibesarkan dalam lingkup gereja katolik. Dia menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Union Theological Seminary. Dia pernah bergabung di Rockville Centre Diocesan Office of Religious Education, yaitu salah satu pendidikan keuskupan gereja katolik. Dalam makalah ini, penulis hanya memilih satu dari sekian banyak karangan buku Maria Harris yaitu Fashion Me A People yang diterbitkan oleh Westminster John Knox pada tahun 1989. Oleh sebab itu dalam penulisan makalah ini tidak akan mencantumkan footnote.

[6] D. Campbell Wyckoff pernah mengajar di Princeton Theological seminary. Dalam makalah ini penulis juga hanya memilih satu dari sekian banyak buku yang dikarang oleh Wyckoff yaitu : Theory and Design of Christian Education Curriculum yang diterbitkan oleh The Westminster Press pada tahun 1961.