Tuesday 30 November 2010

Natal : Aktivitas Agamawi atau Mengalami Tuhan ?

Natal : Aktivitas Agamawi atau Mengalami Tuhan ?

Bagi kebanyakan orang kristen, memasuki bulan Desember merupakan bulan yang sangat indah. Hal itu tentunya dikaitkan dengan perayaan Natal di mana bulan yang dianggap bulan damai, penuh dengan sweet memory, bulan terakhir dari setiap tahun di mana bisa merefleksikan diri. Berbagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pribadi,keluarga atau gereja untuk menyambut akan hari Natal. Bahkan di mall-mall seperti di kota Jakarta sudah mulai melantunkan lagu-lagu Natal tanpa mempedulikan bahwa sesungguhnya pengunjung mall bukan hanya orang kristen.

Namun yang menjadi pertanyaan perenungan kita “Apakah kegiatan Natal yang sekarang ini dilakukan memberikan dampak rohani kepada orang Kristen?” Saya merasa pertanyaan ini perlu untuk kita renungkan bersama. Bagaimana pengaruh kegiatan natal terhadap kerohanian jemaat. Jangan sampai kegiatan-kegiatan natal hanya sebatas aktivitas agamawi dan bukan mengalami atau berjumpa dengan Tuhan. Kadangkala kesibukan-kesibukan terbungkus dalam satu paket yang indah dengan sebuah legitimasi bahwa Tuhan dimuliakan dengan aktivitas agamawi tersebut.

Kalau kita membaca dalam Yoh 1: 14 bahwa “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita”. Sebenarnya inilah inti dari Natal itu. Yesus merelakan diri-Nya dikenali oleh umat ciptaan-Nya yang berdosa. Bapa merelakan putra-Nya untuk masuk ke dalam kehidupan manusia demi sebuah misi kasih yang menyelamatkan. Kalau kita melihat kepada sejarah gereja, Sesungguhnya kegiatan-kegiatan Natal merupakan salah satu tradisi kekristenan Barat yang diteruskan hingga saat ini. Saya tidak bermaksud untuk menolak tradisi natal yang selama ini dilakukan oleh gereja. Tetapi kadang kala yang lebih menonjol adalah tradisinya atau aktivitasnya dan bukan makna dari Natal itu sendiri.

Berapa banyak gereja-gereja yang merayakan natal hanya terjebak kepada aktivitas agamawi. Saya pernah mengikuti ibadah natal yang begitu ribut sekali ketika firman Tuhan diberitakan dan panitia natal juga melakukan khotbah di belakang gereja. Kadang kala kalau sudah memasuki bulan desember gereja-gereja melakukan latihan paduan suara, namun setelah bulan desember tidak ada lagi. Inilah salah satu ciri aktivitas agamawi yang kadang kala bersifat temporer. Bahkan tidak sedikit orang kristen yang mengeluh ketika tiba bulan desember karena akan menguras dompet mereka dengan membeli bazart, membayar target natal, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu bagi saya adanya keinkonsistenan kita dalam memaknai natal sehingga membuat kita terjebak dalam aktivitas agamawi tetapi tidak mengalami atau berjumpa dengan Tuhan.

Mungkin kita akan bertanya bukankah di atas semuanya itu merupakan indikator bahwa kita mengalami Tuhan ? Mengalami Tuhan tidak hanya berhenti pada aktivitas agamawi, tetapi adanya jalinan relasi yang benar dan memberikan dampak perubahan dalam setiap aspek kehidupan kita. Makna Natal tidak akan berkurang kualitasnya dengan kegiatan-kegiatan yang kita lakukan. Makna Natal jauh lebih penting daripada aktivitas agamawi. Oleh sebab itu seharusnya ketika kita mempersiapkan Natal baik itu pada saat meeting, latihan paduan suara, ibadah, melakukan kegiatan-kegiatan sosial atau apapun, kita harus berjumpa dengan Tuhan bukan berjumpa dengan aktivitasnya, dan perjumpaan itu tidak bersifat temporer tetapi continuous. Amen!

Wednesday 3 November 2010

Memandang Sejarah “Gerakan Reformasi Gereja”

Memandang Sejarah “Gerakan Reformasi Gereja”

Sejarah Gereja mencatat bahwa pada tanggal 31 Oktober 1517 pernah terjadi sebuah gerakan Reformasi gereja yang dipelopori oleh Martin Luther. Pada tanggal 31 Oktober Martin Luther memakukan 95 dalil/tesis yang ditulis dalam bahasa Latin di depan gereja istana Wittenberg Jerman. Oleh sebab itu pada tanggal 31 Oktober ditetapkan sebagai hari Reformasi gereja protestan. Mungkin sebagian gereja melihat peristiwa ini sebagai sesuatu yang sederhana atau bahkan mungkin tidak pernah memperhatikannya. Mungkin disebabkan suara-suara mimbar gereja sudah jarang sekali memandang akan sejarah gereja yang terjadi kurang lebih 5 abad yang lalu.

Peristiwa yang terjadi pada saat itu menggemparkan kehidupan bergereja yang ada di dunia. Seorang reformator sangat berani melawan hirarki gereja yang tidak sesuai lagi dengan firman Tuhan. Seorang sahabat Martin Luther mengingatkan bahwa tidak usah mempermasalahkan gereja yang sudah berjalan sekian abad lamanya. Tetapi Martin Luther menjawab “Siapa yang miskin tidak bisa kehilangan sesuatu apapun. Saya tidak mempunyai uang dan harta, saya juga tidak mau jika kehormatan dan kemasyhuran yang sudah saya miliki mudah hilang. Hanya satu yang masih tinggal yaitu tubuh yang lemah dan lelah lesu ini; Kalau mereka membunuh saya dengan kekerasan atau tipu daya maka mereka akan membuat saya kehilangan satu atau dua jam perjalanan hidup saya. Bagi saya sudah cukup Juruselamat kekasih saya yaitu Tuhanku Yesus Kristus” Kalau kita menyimak curahan hati seorang bapak reformator sungguh mengharukan. Betapa tidak, karena gerakan yang dia lakukan adalah menyangkut dengan hidup dan matinya. Tetapi dia tidak pernah menyerah karna dia yakin bahwa selama ini gereja dan para pemimpinnya tidak lagi menjalankan fungsinya dengan benar. Alkitab ditafsirkan dengan cara yang semborono bahkan ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan pribadi, misalnya: “penjualan surat penghapusan dosa”, “penafsiran paus atau pemimpin gereja dianggap lebih berotoritas daripada Alkitab”. Oleh sebab itu Martin Luther menempatkan kebenaran Alkitab kepada posisinya. Itulah sebabnya salah satu statemennya yang terkenal yaitu “Sola Scriptura (yang artinya hanya Alkitab yang bisa dijadikan standar kebenaran) ”.

Sesungguhnya peristiwa yang terjadi pada saat itu menimbulkan pergolakan yang dahsyat baik itu di tingkat universitas/ akademisi, di tingkat kehidupan bergereja, sosial masyarakat bahkan kelangsungan pemerintahan Jerman pada saat itu. Berkali-kali setelah Martin Luther menulis dalil-dalilnya, dia juga sering menulis surat kepada paus, pemerintah bahkan dosen-dosen sekalipun, sebagai kerindunnya untuk menempatkan atau mengembalikan “Kebenaran” ke posisi yang sesungguhnya. Setelah berjalan muncullah juga beberapa Reformator gereja yang sangat terkenal yaitu Zwingli di Swiss dan Johanes Calvin di Perancis. Mereka juga sangat mendukung apa yang telah dilakukan oleh Martin Luther. Oleh sebab itu Tuhan mengirim hamba-hamba-Nya untuk menegakkan kebenaran yang sudah mulai dibengkokkan oleh orang-orang tertentu, dan sampai sekarang apa yang para reformator perjuangkan masih bertahan hingga sekarang. Benarlah apa yang dikatakan oleh firman Tuhan dalam Kis 5: 38,39 : “ Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah .

Hanya Kebenaran dan Kehendak Tuhan yang bisa bertahan sampai kepada kesudahannya. Begitu banyak peristiwa atau fenomena yang terjadi dalam sejarah gereja, tetapi apabila itu tidak sesuai dengan firman Tuhan pasti akan lenyap. Firman Tuhan tidak pernah berbohong. Oleh sebab itu bagaimana dengan kita sebagai umat kepunyaan-Nya? Mungkin kita tidak harus sama seperti Martin Luther atau Zwingli atau Johanes Calvin. Tetapi mereka belajar tunduk kepada firman Tuhan. Saya yakin para reformator juga adalah manusia berdosa sama seperti kita. Mereka pun juga tidak akan mungkin benar 100 % dalam menjalani kehidupan. Tetapi yang mereka lakukan senantiasa tunduk di bawah pimpinan Tuhan. Mereka telah dipakai oleh Tuhan untuk menegakkan “Kebenaran”. Maukah kita juga dibentuk, ditegur dan dikritik dengan “Kebenaran itu” ?

Selamat merenungkan dan merefleksikan Hari Reformasi Gereja yang Ke-493 (31 Okt. 1517 – 31 Okt. 2010). Soli Deo Gloria.