Tuesday 14 December 2010

Dari Tahta Ke Palungan

Dari Tahta Ke Palungan (From Throne To A Manger)

(Luk 2: 9-14)


Semua manusia kalau diperhadapkan kepada pilihan “Apakah mau turun level atau naik level ” pasti rata-rata akan menjawab semua mau naik level. Apalagi kalau selama ini hidupnya sering mengalami kesusahan ataupun juga mungkin ada di antara mereka yang sudah menikmati segala fasilitas atau kedudukan yang tinggi, nyaris dapat dipastikan bahwa orang tersebut tidak mau turun level. Salah satu sifat manusia bahwa sometimes manusia tidak mau kalau ada orang yang lebih hebat, pintar atau lebih kaya dari dia. Bahkan yang lebih ekstrim lagi bahwa manusia ingin selalu menjadi number one di setiap komunitas atau lingkungannya. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tuhan ketika mengutus anak-Nya yang tunggal.

Kalau kita melihat apa yang Malaikat Tuhan katakan kepada gembala-gembala bahwa “Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” Tentunya apa yang dikatakan Malaikat Tuhan merupakan isi hati Tuhan kepada manusia. Apabila kita kembali melihat dalam sejarah PL, berkali-kali Tuhan memberikan tanda kepada manusia sebagai symbol bahwa betapa Tuhan sangat mengasihi manusia. Tanda-tanda sangat diperlukan oleh manusia dalam mengalami atau merasakan keberadaan Tuhan. Namun ketika Tuhan memberikan tanda, bukanlah tanda yang sembarangan yang tidak punya makna, tetapi memiliki message yang sangat dalam. Apakah tanda yang diberikan kepada gembala-gembala? Tanda yang diberikan yaitu “Kain lampin” dan “palungan”.

Mungkin kalau sepintas kita melihat bahwa sering kali kita mendengarkan khotbah bahwa tanda-tanda tersebut mengarah kepada kesederhanaan Yesus atau Tuhan mengasihi orang-orang yang miskin. Saya merasa hal itu ada kebenarannya, tetapi tidak hanya sampai di situ. Kalau kita kembali mengingat peristiwa Adam dan Hawa, ketika mereka jatuh ke dalam dosa, mereka menyadari bahwa mereka telanjang. Sebenarnya ketika mereka belumjatuh ke dalam dosa, mereka juga dalam keadaan telanjang. Oleh sebab itu ketika mereka tahu bahwa mereka telanjang mereka mengambil daun pohon ara untuk menutupi rasa malu mereka (Kej 3:7). Oleh sebab itu antara rasa “malu” dan “mulia” di hadapan Tuhan sudah terbentang jarak yang begitu jauh. Adam dan Hawa melakukan berbagai cara untuk menutupi rasa malunya di hadapan Tuhan. Jadi manusia sudah mendefenisikan dirinya bahwa “I am what I am wear”.

Oleh sebab itu dalam dunia modern sekarang ini tidak heran kalau harga diri atau martabat mereka ditentukan dengan pakaian apa yang mereka pakai. Mereka berpikir bahwa untuk menutupi rasa malu mereka dengan cara memakai pakaian yang mahal dan mewah. Tentunya apa yang saya maksudkan bukan berarti bahwa tidak boleh memakai baju yang mahal dan bermerk. Tetapi sadar atau tidak sadar kadang kala self-confidence kita datang dari apa yang kita pakai. Yesus memakai kain lampin yang mungkin dalam bahasa modernnya seperti kain yang tidak berbentuk dan memiliki nilai yang tidak mahal,tetapi mengapa Allah menggunakan tanda ini? Sesungguhnya kemuliaan Yesus bukan datang dari pakaian yang digunakan melainkan kemuliaan-Nya datang dari Bapa-Nya sendiri melalui bala tentara surga(ay.13). Bukankah banyak orang kristen ketika merayakan Natal selalu mencari atau meminta pengakuan dari manusia sesuai dengan pakaian apa yang dia pakai, mungkin acara natalnya bagus, ornament natal yang bagus atau paduan suara yang begitu merdu atau dekorasi yang begitu bagus. Apabila kita mengklaim bahwa kemuliaan datang dari itu, maka sia-sialah Natal kita karena kemuliaan yang sesungguhnya datangnya dari Tuhan bukan dari apa yang kita pakai. Menutupi kejahatan dan keberdosaan atau rasa malu kita bukan datang dari apa yang kita pakai tetapi datangnya dari Bapa di surga melalui Putra Natal itu.

Tanda yang kedua yang diberikan kepada gembala-gembala yaitu “palungan”. Palungan menunjukkan kepada tempat(place) atau posisi. Tentunya menjadi pertanyaan perenungan bagi kita, mengapa Tuhan menempatkan di palungan? Dalam Surat Fil dikatakan bahwa “Ia rela mengosongkan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba…(Fil.2:7). Saya yakin tanda yang diberikan oleh Tuhan memiliki kedalaman makna yang begitu luar biasa. Bagaimana mungkin Tuhan yang menjadi Pemilik segalanya merelakan diri-Nya untuk turun ke dalam dunia yang berdosa. Sebenarnya Tuhan tidak punya kewajiban atau hutang kepada manusia untuk menyelamatkan manusia, tetapi hanya karena anugerah dan belas kasihan Tuhan sehingga Dia merelakan Diri-Nya dikenal oleh kita manusia berdosa. Namun ironis sekali pola atau model ini acapkali dilupakan oleh banyak orang kristen ketika merayakan Natal. Kadang kala posisi itu terbalik, kita yang di tempat tinggi dan Tuhan yang dibawa kita. Hal ini kadang kala terlihat dalam kegiatan natal, semuanya mau menjadi bos dan tidak ada yang mau menjadi hamba. Apalagi kalau sudah merasa memberikan sumbangan natal yang banyak atau memiliki posisi yang tinggi. Berapa banyak dari kita sebagai hamba-hamba Tuhan, majelis, aktivis gereja karena disibukkan dengan kegiatan natal akhirnya melupakan waktu-waktu pribadi bersama dengan Tuhan. Berapa banyak di antara kita sebagai pemimpin ketika sudah waktunya untuk memberikan tongkat estafet pelayanan itu, tetapi kita tidak rela melepaskannya. Biarlah melalui tanda “palungan” itu memberikan ingatan dan kesadaran bagi kita bahwa sesungguhnya kedudukan atau posisi kita seharusnya lebih rendah dari palungan itu sendiri. Tetapi yang menjadi pertanyaan siapkah atau relakah kita turun ke tempat tersebut ? Amen! (By: Jaffray)