Pernahkah terlintas dalam pemikiran kita, bahwa di saat kita mempersiapkan Ibadah Perayaan Natal atau sementara Ibadah Natal, kira-kira Tuhan senang tidak dengan apa yang kita lakukan sekarang? Mungkin pertanyaan ini terkesan konyol, ingin menghakimi, dan bahkan mungkin tidak relevan dengan kita yang sudah berkali-kali merayakan Natal. Namun sebagaimana yang kita saksikan bersama-sama, praktek-praktek merayakan Natal sudah melebur dirinya menjadi sebuah budaya yang dapat dikomersialkan dan memberikan kepuasan tersendiri . Berkembang di kalangan komunitas iman, bahwa Natal itu identik dengan pesta, makan-makan, dekorasi, bazar, mengumpulkan dana berjuta-juta dan lain sebagainya. Sehingga tidak sedikit praktek-praktek ibadah perayaan Natal dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang tidak sehat, misalnya tidak disiplin selama ibadah berlangsung, lebih menekankan yang lahiriah daripada batiniah, yang mengakibatkan Kristus tidak terlihat sepanjang ibadah berlangsung.
Memang apabila mengacu
kepada sejarah praktek merayakan Natal itu sendiri memiliki kisah yang unik.
Dikisahkan
demi menarik simpati warga Romawi para penghulu Kristiani pada zaman itu menerapkan
inkulturasi damai. Pesta klasik Romawi yang sangat populer demi menghormati
dewa matahari diadopsi sebagai perayaan Kristiani. Atas inisiatif Kaisar
Konstantinus diadakan Konsili Nicea (325) yang menetapkan: pesta munculnya Dewa
Matahari direklamasi jadi Natal, yaitu mengenang kelahiran Isa Almasih yang
adalah cahaya dunia dan matahari keadilan. Selama
tiga abad sebelumnya umat Kristiani tak mengenal perayaan kelahiran Isa
Almasih. Untuk pertama kalinya Natal dirayakan tahun 336 di Roma. Dari sinilah
mulai berkembang bentuk-bentuk perayaan Natal dengan segala refleksi yang
dilakukan oleh manusia, yang sayangnya seiring berjalannya waktu terkesan tidak
lagi menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya yang digambarkan di dalam Alkitab,
khususnya ketika melakukan tindakan Ibadah Komunal.
Ibadah adalah tanggapan
hati orang percaya kepada Allah. Umunya dalam mempercakapkan tentang Ibadah terbagi
menjadi 3 bagian yang kadangkala saling mengisi, melengkapi, dan kadang kala tumpang
tindih, yaitu: Pertama, Ibadah dalam arti yang luas meliputi seluruh unsur
kehidupan sehari-hari (band. Rm.12:1). Kedua, memahami Ibadah sebagai Kebaktian
Hari Minggu atau Kebaktian lainnya yang menghimpunkan sekian banyak umat untuk
melakukan tindakan beribadah dalam waktu dan tempat yang telah diatur. Ketiga,
pemahaman Ibadah hanya terbatas ketika membicarakan tentang bagian musik,
puji-pujian, Liturgi, style atau model ibadah, drama atau yang terkait dengan
ekspresi seni.
Dalam kesempatan ini
penulis menyoroti berbagai tindakan-tidakan ibadah yang dilakukan secara
komunal dalam perayaan Natal. Ibadah dalam aspek ini sebagai respons setiap
individu dan komunal untuk memaknai kehadiran Kristus sebagai Putra Natal yang
menyelamatkan. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa sejak dari awal manusia
diciptakan tujuannya adalah Beribadah kepada Tuhan, di mana Allah akan menyingkapkan
Diri-Nya dan memberikan berbagai petunjuk-petunjuk seperti apa manusia memandang
Allah dan memberikan respons secara tepat dan benar. Sehingga tidak heran Marthin Luther juga mengatakan bahwa “to know
God is to worship him”. Ibadah dalam iman Kristen bukanlah sebuah pilihan
tetapi menjadi keharusan dan bagian dari respons kita atas keselamatan yang
Tuhan berikan.
Bercermin kepada
peristiwa Natal yang dipenuhi dengan begitu banyak tokoh atau kelompok menggambarkan
sebuah ketundukan manusia kepada Allah dan bagaimana Berita Natal telah
menghidupkan harapan mereka untuk menjalani hari-hari ke depannya. Nyanyian
Pujian Maria dalam Luk. 1:46-55 begitu eksplisit menggambarkan tindakan, suasana
hati serta respons Maria ketika menyadari bahwa Anak yang ada di dalam
kandungannya adalah Sang Juruselamat yang akan memberikan keselamatan. Seandainya
nyanyian Pujian Maria ini dituangkan dalam bentuk Ibadah Komunal akan sangat
menarik dan menampilkan Wajah Sang Bayi Natal secara lugas dan terhormat. Betapa
tidak Maria menyadari bahwa jiwanya memuliakan Tuhan dan sangat bergembira
bukan karena apa-apa, tetapi semata-mata karena Allah telah memperhatikan dia
dan keturunannya untuk merasakan dan mengalami rahmat dan cinta kasih Tuhan. Maria
mengingat sejarah penebusan yang pernah diungkapkan oleh Allah sendiri melalu
bangsa Israel.
Kemudian respons gembala-gembala
yang dicatat dalam Luk. 2:8-20 memberikan catatan tersendiri dalam berbagai
kebingungan mereka dijumpai oleh Malaikat terkait berita Natal yang menghasilkan
respons yang tepat dan sangat humble. Sebuah motivasi yang kuat untuk
cepat-cepat dan sesegra mungkin menemui Sang Bayi Natal yang dibungkus dengan
lampin dan terbaring di dalam palungan. Perjumpaan para gembala dengan Bayi
Natal memandu mereka untuk menyembah dan memuliakan Tuhan serta memperkatakan
segala apa yang telah mereka dengarkan dari Malaikat dan pengalaman mereka
berjumpa dengan Sang Bayi Natal. Kalau dibuatkan juga dalam bentuk tindakan
ibadah secara komunal akan memberikan nuansa yang sangat Ajaib dan memberikan
perubahan hidup. Dalam ketakutan yang melingkupi mereka, tersimpan sebuah
kesederhanaan untuk membuka hati dan pikiran mereka menerima lawatan Tuhan dan
tanpa tedeng aling-aling, dengan semangat yang tinggi segera berjumpa dengan
Bayi Natal. Perjumpaan itu membawa Tuhan dipuji dan dimuliakan serta membawa
sebuah makna baru dalam hidup para gembala.
Berdasarkan narasi
Natal di atas, dapat memberikan gambaran-gambaran seperti apa wajah Natal yang
sesungguhnya, yaitu:
Tuhan Dimuliakan
Ketika ibadah perayaan
Natal dirancang dan direncanakan, doa-doa yang dipanjatkan selalu mengacu kepada
semoga Tuhan dimuliakan. Bahkan dalam rapat-rapat kepanitiaan Natal, ketua
panitia atau anggota panitia sekalipun akan selalu mengingatkan “ini untuk
kemuliaan Nama Tuhan”. Bahkan tidak jarang ungkapan ini acapkali dijadikan
senjata untuk menembak apabila ada orang-orang tertentu yang memberikan indikator
tidak sehat dalam merencakan Natal. Tindakan-tindakan dalam ibadah merayakan
Natal semuanya harus dalam bingkai Memuliakan Nama Tuhan dan bukan memuliakan
manusia. Namun dalam kenyataannya dalam beberapa moment ibadah, kadang kala hal
ini terlupakan oleh setiap umat. Fokusnya bukan lagi memuliakan Tuhan tetapi
memalukan Tuhan.
Saya mengapresiasi tim
altar yang berbulan-bulan Latihan mempersiapkan segala sesuatunya untuk ibadah
dan bahkan tidak sedikit pengorbanan yang mereka berikan, dan penampilan mereka
luar biasa di atas panggung. Namun sayang sekali antara di atas podium/panggung
dengan kejadian setelah mereka diharapkan mendengarkan suara Tuhan melalui
khotbah tidak sesemangat yang diharapkan. Bahkan ketika doa syafaat
berlangsung, seolah-olah mereka memisahkan diri dari tindakan liturgi tersebut.
Dalam survey yang saya edarkan cukup mengagetkan rupayanya sekitar 72 %
responden melihat tim altar kadang kala tidak duduk tenang ketika khotbah berlangsung
dan bahkan ada 4,5% responden tidak pernah melihat tim altar duduk tenang
mendengarkan khotbah.
Kemudian bayangkan bapak
ibu ketika kita sudah berkorban dalam pelayanan khususnya mulai dari persiapan
sampai Ibadah Natal, namun yang kita dapatkan hanyalah kritikan dan komentar
yang tidak membangun oleh karena Ibadah Natal menampilkan sesuatu yang
membosankan, konsumsi Natal kurang, belum lagi dekorasi yang tidak sesuai tema
Natal. Kira-kira kita tetap berdiri tegak mengikuti Ibadah perayaan Natal
ataukah melarikan diri? Ini adalah salah satu contoh di antara sekian banyak
contoh yang mengingatkan kita bahwa sebenarnya Ibadah yang kita lakukan
memuliakan Tuhan atau manusia? Sebanyak 77,8 % responden melibatkan diri dalam Paduan
Suara/Vocal Group Natal. Bayangkan kalau lagu yang kita nyanyikan tidak ada
yang merekam, tidak ada yang memuji, dan bahkan tidak terdengar dengan baik
karena sound system/musik bermasalah, kira-kira apa tindakan kita? Kadang kala
sebagian anggota peserta paduan suara marah-marah ke bagian operator multimedia,
sampai-sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas, padahal kita sementara
ibadah. Kira-kira apakah Tuhan dimuliakan? Sesungguhnya banyak tindakan-tindakan
individu dalam Ibadah perayaan Natal tidak menampilkan wajah Natal yang
sesungguhnya yaitu Tuhan dimuliakan. Tentunya hal ini menjadi awasan dan bahan
evaluasi setiap kita untuk memastikan bahwa setiap gerak gerik kita dalam
tindakan beribadah bermuara kepada satu titik yaitu TUhan dimuliakan dan
dihormati. Itulah sebabnya beberapa gereja presbiterian dan mainstream
menempatkan lagu “Muliakanlah” dalam KJ No.100 atau “Hormat Diberi bagi Allah”
NKI No. 304 yang terinspirasi dari Nyanyian Malaikat dalam Luk. 2:14 dinyanyikan
di setiap akhir Ibadah.
Mengalami Perjumpaan dengan Tuhan
Kalau di luar sana
banyak orang merayakan Natal tanpa Yesus, tetapi dalam Ibadah perayaan Natal
tidaklah demikian. Ibadah merupakan perjumpaan kita dengan Tuhan. Dalam perjumpaan
itu terjalin relasi yang hormat kepada yang dijumpai karena yang akan dijumpai
ini adalah Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Namun kesadaran itu
seringkali tidak tergambar dalam tindakan-tindakan beribadah kita. Seringkali kita
hanya fokus membangun relasi dengan manusia dalam ibadah dan lupa kalau ada
Tuhan yang menunggu kita untuk berbicara dan berkomunikasi dengan-Nya. Makanya terlalu
gampang kita kecewa dalam ibadah atau terlalu mudah kita kehilangan konsentrasi
karena kita tidak ingat bahwa saat itu kita berhadapan dengan karakter-karakter
dan Pribadi Allah.
Makanya banyak jemaat
yang mengikuti ibadah perayaan Natal dan bahkan terlibat dalam kepanitiaan,
tetapi tidak memberikan dampak sama sekali dalam perubahan hidup. Karakter tidak
berubah, pola pikir tidak serupa dengan Kristus, tidak mau mengampuni dan
bahkan acuh tak acuh dengan kehidupan kerohaniannya. Apakah ibadahnya yang
salah? Ataukah individunya yang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Sekiranya
ibadah perayaan Natal menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya dengan
mengalami kehadiran Kristus, pasti akan bersifat transformasi hidup. Sehingga Natal
yang diikuti setiap tahun tidak hanya bersifat kenangan tetapi lebih dari itu
memberikan perubahan-perubahan nyata.
Sangat disayangkan kita
sudah mengahbiskan dana berjuta-juta, mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi Tuhan
tidak senang dengan ibadah kita karena kita berelasi dengan yang lain pada saat
ibadah berlangsung. Kita berelasi dengan HP, ngobrol dengan orang lain,
mencari-cari kesalahan panitia pada saat ibadah, menjadi juri tak terlihat pada
saat persembahan pujian, keluar masuk pada saat ibadah berlangsung dan berbagai
praktek lainnya yang sejatinya menjauhkan kita dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya
semuanya ini akan menjadi alert untuk lebih sungguh-sungguh lagi dalam
mengikuti ibadah perayaan Natal.
Ibadah yang disertai rasa CUKUP
Para gembala
ketika berjumpa dengan Sang bayi Natal, itu sudah cukup bagi mereka sebagai
bekal dalam mengarungi jalan-jalan hidup mereka ke depannya. Termasuk Maria dan
Yusuf ketika menerima firman dari Tuhan melalui Malaikat memberikan gambaran
bahwa Penyertaan Tuhan sudah cukup bagi mereka untuk menjalani proses
mengandung sampai kelahiran Sang Imanuel. Ibadah Perayaan Natal memang
memberikan banyak godaan untuk lebih dan lebih lagi dalam menampilkan sesuatu
yang wah dan dapat membekas di sanubari jemaat. Namun pernahkah kita merenungkan
bahwa ketika Natal pertama di Alkitab dipenuhi dengan begitu banyak rasa
kecukupan dan bahkan lebih dari cukup. Cukup berarti apa yang paling esensial
sudah diperoleh dan yang lain tidak lagi penting. Kalau ada syukur, kalau tidak
ada pun juga bersyukur. Inilah esensi dari kata Cukup.
Manusia menciptakan simbol-simbol perayaan sebagai ungkapan
makna dan penghayatan pada hari kelahiran Anak Allah. Namun seiring berjalannya
waktu, justru simbol perayaan tersebut memburamkan esensi sejati Natal itu
sendiri. Ibadah menjadi tentang KITA dan bukan tentang Kristus yang adalah
Tuhan dalam hidup kita. Tanpa kerendahan hati, perkenaan Tuhan yang seharusnya
menjadi sesuatu yang dikejar tetapi pada akhirnya kita terjebak bagaimana
ibadah kita mendapatkan apresiasi dari orang-orang yang hadir.
Banyak pantia melakukan
berbagai macam cara untuk melakukan pencarian dana supaya memenuhi target
proposal yang mereka ajukan. Dan bahkan tidak sedikit pencarian dana Natal
kadang menyebrang pulau dan bahkan negara demi membeli pohon Natal yang baru,
konsumsi di atas standar, dekorasi yang mewah, baju seragam Paduan suara, dan
lain sebagainya. Padahal tanpa pernak Pernik semuanya itu, kita bisa melakukan
ibadah Natal. Tanpa lampu kelap kelip, Natal sudah cukup memberikan pengahrapan
dan kedamaian. Tanpa seragam atau baju baru, Natal sudah cukup membaharui hati
kita yang kotor dan najis. Esensi ibadah Natal bukan terletak pada pernak Pernik
dekorasi, tetapi Allah memberi Hadiah Terbesar bagi dunia sudah cukup menjadi
solusi dari begitu banyak persoalan dunia.
Tuhan
adalah gembalaku, itu sudah cukup memberikan rasa damai dan aman. TUhanlah yang
paling esensial dan kita butuhkan. Kehadiran-Nya sudah cukup memandu kita dalam
mengalami Ibadah perayaan Natal yang sesungguhnya. Hal ini ditegaskan juga oleh
Rasul Paulus kepada Timotius bahwa “memang ibadah itu kalau disertai dengan
rasa cukup, memberi keuntungan besar”. Joas Adiprasetya mengatakan bahwa “Cara
hidup kitalah yang membuktikan, apakah Tuhan sudah cukup buat kita dan apakah
Tuhanlah yang mencukupkan kebutuhan kita. Memperoleh Tuhan adalah cara hidup
minimal yang harus kita miliki sekaligus maksimal yang bisa membuat kita berbahagia
menikmati ibadah perayaan Natal.
Akhirnya Perry F.Webb
mengingatkan kita bahwa: “If you leave church with your faith stronger, your
hope brighter, your love deeper, your sympathies broadened, your heart puerer,
and your will more resolute to do the will of God than you have truly worshiped”
(Jika engkau pulang dari gereja dengan iman yang lebih kuat, harapan yang lebih
cerah, kasih yang lebih mendalam, kepedulian yang lebih luas, hati yang lebih
murni, dan kehendak yang lebih mantap untuk melakukan kehendak Tuhan, maka engkau
sungguh-sungguh beribadah). Kembali pada pertanyaan topik di atas, masihkah
Ibadah Perayaan Natal menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya? Semoga setiap
kita individu yang tergabung dalam ibadah komunal dapat mempersenteskan wajah
Natal seperti respons Maria dan para gembala terhadap Sang Putra Natal. Semoga sepulangnya
kita dari Ibadah Perayaan Natal akan memberikan sukacita, semangat baru untuk
mengasihi Tuhan, semangat mengenakan karakter Kristus, dan menjadi berkati bagi
banyak orang. Selamat Natal 2024
Berikut Sebuah
Refleksi penulis tentang hasil survey responden
mengenai Ibadah Perayaan Natal, yang tentunya tidak bisa dijadikan dasar mutlak
sebagai representasi dari umat yang beribadah, tetapi paling tidak memberikan
catatan khusus supaya Ibadah perayaan berjalan dengan tertib dan memberkati
kita semua.
1.
Semangat mengikuti Ibadah Perayaan Natal
masih cukup tinggi, dan tentunya ini menjadi momen yang sangat baik dan
sekaligus sebagai tantangan untuk menghadirkan wajah Natal yang sesungguhnya
dalam setiap Ibadah
2.
Sebagian besar responden telah
merencakan dan mempersiapkan diri mengikuti ibadah perayaan Natal dengan hadir
tepat waktu dan mengikuti kegiatan sampai selesai. Walaupun ada beberapa responden yang
mengusulkan Ibadah perayaan Natal jangan terlalu lama dan kalau boleh waktunya
dapat diatur dengan baik
3.
Moment paduan suara pada saat ibadah
perayaan Natal masih mendapatkan tempat yang special di mata jemaat, baik
jemaat yang mendengarkan maupun anggota paduan suara tersebut. Semangat bernyanyi
dalam paduan suara masih cukup tinggi. Hal ini menjadi peluang besar untuk menjadikan
komunitas anggota paduan suara memberikan dampak pertumbuhan iman bagi
anggotanya
4.
Khotbah dalam ibadah perayaan Natal
mendapatkan rating yang sangat tinggi. 100% jemaat fokus mendengarkan khotbah
dan bahkan sebagian besar jemaat memiliki kebiasaan membahas materi khotbah
Natal setelah ibadah selesai. Walaupun perlu dilakukan pendalaman lagi apakah
pembahasannya mencari kesalahan pengkhotbah, memuji penyampaian khotbah ataukah
mereka membahasakan ulang materi khotbah kepada orang lain. Hal ini tentunya
memberikan semangat para pengkhotbah Natal untuk mempersiapkan materi khotbah
dengan baik.
5.
Bunyian alat musik dalam Ibadah juga
mendapatkan persentase yang tinggi, mungkin saja para tim altar telah
mempersiapkan sedemikian rupa, sehingga bunyi-bunyian alat musik menolong
jemaat untuk bernyanyi. Namun beberapa jemaat mengusulkan musik dalam Ibadah
harus ditempatkan secara proporsional juga, jangan sampai mendominasi seluruh
ibadah perayaan Natal
6.
Persoalan klasik dalam setiap event
Natal adalah masalah sound system yang sering bermasalah, banyak responden yang
mengeluhkan sound system yang bermasalah dan bahkan dari hasil survey sebagian
besar Pendeta-Guru Injil tidak menikmati sound system sebagaimana yang
diharapkan. Mungkin sudah waktunya dalam melakukan budgeting Natal,
harus ada dana untuk penyewaan/pengadaan sound system. Apalagi ditambah
dengan suasa Tempat Ibadah Natal yang tidak terlalu nyaman, diperlukan pengeras
suara yang mumpuni untuk mendukung kelancaran acara dengan baik.
7.
Sebagian responden rupanya kadang kala
mengomentari konsumsi dalam Ibadah Natal. Hal ini menjadi tantangan bagi kita
untuk memberikan pemahaman yang sesungguhnya bahwa Natal tidak identic dengan
makanan. Kalaupun ada itu adalah bonus alias aksesoris dari Natal itu sendiri. Walaupun
sebagian juga tidak mempermasalahkan apakah konsumsinya enak atau tidak. Hal ini
Kembali kepada setiap individu.
8.
Ibadah Natal merupakan moment sekali
setahun dan ekspektasi responden mengharapkan ibadah ini dapat diatur dan
direncanakan sebaik mungkin untuk menampilkan sesuatu yang baru dan tidak
membosankan sehingga memberikan kesan tersendiri dalam setiap Ibadah Natal. Pengadaan
doorprize adalah hal yang menarik namun tetap memperhatikan waktu dan jangan
dipaksakan kalau keadaan tidak memungkinkan
9.
Satu hal yang menarik sekitar 80% responden
sering dan kadang-kadang mengajak orang lain mengikuti ibadah Natal di
gerejanya. Hal ini menggambarkan bahwa daya Tarik Natal sangat efektif untuk memperkenalkan
Kristus kepada jemaat. Di beberapa gereja lokal, momen Ibadah Perayaan Natal
dijadikan wadah Ibadah KKR dan Penginjilan.
10. Godaan
menggunakan HP dan ngobrol ke orang lain pada saat Ibadah, masih cukup tinggi. Hal
ini perlu diantisipasi dan diingatkan terus ke jemaat supaya memaksakan diri
untuk tidak tergoda dengan hal-hal tersebut yang membuat ibadah perayaan Natal tidak
menjadi berkat. Kadang kala kita mengkritik anak muda yang bermain HP pada saat
Ibadah, yang sesungguhnya terjadi juga di kalangan Majelis dan gembala ketika
Ibadah berlangsung. Saran ekstrim dari saya kalau tidak terlalu penting,
biarkan HP kita tinggal di rumah atau di kendaraan supaya tidak mengganggu
dalam ibadah.