Monday, 25 November 2024

Ibadah Perayaan Natal : Masihkah Menampilkan Wajah Natal yang Sesungguhnya ?

 

Pernahkah terlintas dalam pemikiran kita, bahwa di saat kita mempersiapkan Ibadah Perayaan Natal atau sementara Ibadah Natal, kira-kira Tuhan senang tidak dengan apa yang kita lakukan sekarang? Mungkin pertanyaan ini terkesan konyol, ingin menghakimi, dan bahkan mungkin tidak relevan dengan  kita yang sudah berkali-kali merayakan Natal. Namun sebagaimana yang kita saksikan bersama-sama, praktek-praktek merayakan Natal sudah melebur dirinya menjadi sebuah budaya yang dapat dikomersialkan dan memberikan kepuasan tersendiri . Berkembang di kalangan komunitas iman, bahwa Natal itu identik dengan pesta, makan-makan, dekorasi, bazar, mengumpulkan dana berjuta-juta dan lain sebagainya. Sehingga tidak sedikit praktek-praktek ibadah perayaan Natal dipenuhi dengan tindakan-tindakan yang tidak sehat, misalnya tidak disiplin selama ibadah berlangsung, lebih menekankan yang lahiriah daripada batiniah, yang mengakibatkan Kristus tidak terlihat sepanjang ibadah berlangsung.

Memang apabila mengacu kepada sejarah praktek merayakan Natal itu sendiri memiliki kisah yang unik. Dikisahkan demi menarik simpati warga Romawi para penghulu Kristiani pada zaman itu menerapkan inkulturasi damai. Pesta klasik Romawi yang sangat populer demi menghormati dewa matahari diadopsi sebagai perayaan Kristiani. Atas inisiatif Kaisar Konstantinus diadakan Konsili Nicea (325) yang menetapkan: pesta munculnya Dewa Matahari direklamasi jadi Natal, yaitu mengenang kelahiran Isa Almasih yang adalah cahaya dunia dan matahari keadilan.     Selama tiga abad sebelumnya umat Kristiani tak mengenal perayaan kelahiran Isa Almasih. Untuk pertama kalinya Natal dirayakan tahun 336 di Roma. Dari sinilah mulai berkembang bentuk-bentuk perayaan Natal dengan segala refleksi yang dilakukan oleh manusia, yang sayangnya seiring berjalannya waktu terkesan tidak lagi menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya yang digambarkan di dalam Alkitab, khususnya ketika melakukan tindakan Ibadah Komunal.

Ibadah adalah tanggapan hati orang percaya kepada Allah. Umunya dalam mempercakapkan tentang Ibadah terbagi menjadi 3 bagian yang kadangkala saling mengisi, melengkapi, dan kadang kala tumpang tindih, yaitu: Pertama, Ibadah dalam arti yang luas meliputi seluruh unsur kehidupan sehari-hari (band. Rm.12:1). Kedua, memahami Ibadah sebagai Kebaktian Hari Minggu atau Kebaktian lainnya yang menghimpunkan sekian banyak umat untuk melakukan tindakan beribadah dalam waktu dan tempat yang telah diatur. Ketiga, pemahaman Ibadah hanya terbatas ketika membicarakan tentang bagian musik, puji-pujian, Liturgi, style atau model ibadah, drama atau yang terkait dengan ekspresi seni.

Dalam kesempatan ini penulis menyoroti berbagai tindakan-tidakan ibadah yang dilakukan secara komunal dalam perayaan Natal. Ibadah dalam aspek ini sebagai respons setiap individu dan komunal untuk memaknai kehadiran Kristus sebagai Putra Natal yang menyelamatkan. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa sejak dari awal manusia diciptakan tujuannya adalah Beribadah kepada Tuhan, di mana Allah akan menyingkapkan Diri-Nya dan memberikan berbagai petunjuk-petunjuk seperti apa manusia memandang Allah dan memberikan respons secara tepat dan benar. Sehingga tidak heran  Marthin Luther juga mengatakan bahwa “to know God is to worship him”. Ibadah dalam iman Kristen bukanlah sebuah pilihan tetapi menjadi keharusan dan bagian dari respons kita atas keselamatan yang Tuhan berikan.  

Bercermin kepada peristiwa Natal yang dipenuhi dengan begitu banyak tokoh atau kelompok menggambarkan sebuah ketundukan manusia kepada Allah dan bagaimana Berita Natal telah menghidupkan harapan mereka untuk menjalani hari-hari ke depannya. Nyanyian Pujian Maria dalam Luk. 1:46-55 begitu eksplisit menggambarkan tindakan, suasana hati serta respons Maria ketika menyadari bahwa Anak yang ada di dalam kandungannya adalah Sang Juruselamat yang akan memberikan keselamatan. Seandainya nyanyian Pujian Maria ini dituangkan dalam bentuk Ibadah Komunal akan sangat menarik dan menampilkan Wajah Sang Bayi Natal secara lugas dan terhormat. Betapa tidak Maria menyadari bahwa jiwanya memuliakan Tuhan dan sangat bergembira bukan karena apa-apa, tetapi semata-mata karena Allah telah memperhatikan dia dan keturunannya untuk merasakan dan mengalami rahmat dan cinta kasih Tuhan. Maria mengingat sejarah penebusan yang pernah diungkapkan oleh Allah sendiri melalu bangsa Israel.

Kemudian respons gembala-gembala yang dicatat dalam Luk. 2:8-20 memberikan catatan tersendiri dalam berbagai kebingungan mereka dijumpai oleh Malaikat terkait berita Natal yang menghasilkan respons yang tepat dan sangat humble. Sebuah motivasi yang kuat untuk cepat-cepat dan sesegra mungkin menemui Sang Bayi Natal yang dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan. Perjumpaan para gembala dengan Bayi Natal memandu mereka untuk menyembah dan memuliakan Tuhan serta memperkatakan segala apa yang telah mereka dengarkan dari Malaikat dan pengalaman mereka berjumpa dengan Sang Bayi Natal. Kalau dibuatkan juga dalam bentuk tindakan ibadah secara komunal akan memberikan nuansa yang sangat Ajaib dan memberikan perubahan hidup. Dalam ketakutan yang melingkupi mereka, tersimpan sebuah kesederhanaan untuk membuka hati dan pikiran mereka menerima lawatan Tuhan dan tanpa tedeng aling-aling, dengan semangat yang tinggi segera berjumpa dengan Bayi Natal. Perjumpaan itu membawa Tuhan dipuji dan dimuliakan serta membawa sebuah makna baru dalam hidup para gembala.

Berdasarkan narasi Natal di atas, dapat memberikan gambaran-gambaran seperti apa wajah Natal yang sesungguhnya, yaitu:

 

Tuhan Dimuliakan

Ketika ibadah perayaan Natal dirancang dan direncanakan, doa-doa yang dipanjatkan selalu mengacu kepada semoga Tuhan dimuliakan. Bahkan dalam rapat-rapat kepanitiaan Natal, ketua panitia atau anggota panitia sekalipun akan selalu mengingatkan “ini untuk kemuliaan Nama Tuhan”. Bahkan tidak jarang ungkapan ini acapkali dijadikan senjata untuk menembak apabila ada orang-orang tertentu yang memberikan indikator tidak sehat dalam merencakan Natal. Tindakan-tindakan dalam ibadah merayakan Natal semuanya harus dalam bingkai Memuliakan Nama Tuhan dan bukan memuliakan manusia. Namun dalam kenyataannya dalam beberapa moment ibadah, kadang kala hal ini terlupakan oleh setiap umat. Fokusnya bukan lagi memuliakan Tuhan tetapi memalukan Tuhan.

Saya mengapresiasi tim altar yang berbulan-bulan Latihan mempersiapkan segala sesuatunya untuk ibadah dan bahkan tidak sedikit pengorbanan yang mereka berikan, dan penampilan mereka luar biasa di atas panggung. Namun sayang sekali antara di atas podium/panggung dengan kejadian setelah mereka diharapkan mendengarkan suara Tuhan melalui khotbah tidak sesemangat yang diharapkan. Bahkan ketika doa syafaat berlangsung, seolah-olah mereka memisahkan diri dari tindakan liturgi tersebut. Dalam survey yang saya edarkan cukup mengagetkan rupayanya sekitar 72 % responden melihat tim altar kadang kala tidak duduk tenang ketika khotbah berlangsung dan bahkan ada 4,5% responden tidak pernah melihat tim altar duduk tenang mendengarkan khotbah.

Kemudian bayangkan bapak ibu ketika kita sudah berkorban dalam pelayanan khususnya mulai dari persiapan sampai Ibadah Natal, namun yang kita dapatkan hanyalah kritikan dan komentar yang tidak membangun oleh karena Ibadah Natal menampilkan sesuatu yang membosankan, konsumsi Natal kurang, belum lagi dekorasi yang tidak sesuai tema Natal. Kira-kira kita tetap berdiri tegak mengikuti Ibadah perayaan Natal ataukah melarikan diri? Ini adalah salah satu contoh di antara sekian banyak contoh yang mengingatkan kita bahwa sebenarnya Ibadah yang kita lakukan memuliakan Tuhan atau manusia? Sebanyak 77,8 % responden melibatkan diri dalam Paduan Suara/Vocal Group Natal. Bayangkan kalau lagu yang kita nyanyikan tidak ada yang merekam, tidak ada yang memuji, dan bahkan tidak terdengar dengan baik karena sound system/musik bermasalah, kira-kira apa tindakan kita? Kadang kala sebagian anggota peserta paduan suara marah-marah ke bagian operator multimedia, sampai-sampai mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas, padahal kita sementara ibadah. Kira-kira apakah Tuhan dimuliakan? Sesungguhnya banyak tindakan-tindakan individu dalam Ibadah perayaan Natal tidak menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya yaitu Tuhan dimuliakan. Tentunya hal ini menjadi awasan dan bahan evaluasi setiap kita untuk memastikan bahwa setiap gerak gerik kita dalam tindakan beribadah bermuara kepada satu titik yaitu TUhan dimuliakan dan dihormati. Itulah sebabnya beberapa gereja presbiterian dan mainstream menempatkan lagu “Muliakanlah” dalam KJ No.100 atau “Hormat Diberi bagi Allah” NKI No. 304 yang terinspirasi dari Nyanyian Malaikat dalam Luk. 2:14 dinyanyikan di setiap akhir Ibadah.

 

Mengalami Perjumpaan dengan Tuhan

Kalau di luar sana banyak orang merayakan Natal tanpa Yesus, tetapi dalam Ibadah perayaan Natal tidaklah demikian. Ibadah merupakan perjumpaan kita dengan Tuhan. Dalam perjumpaan itu terjalin relasi yang hormat kepada yang dijumpai karena yang akan dijumpai ini adalah Sang Pencipta dan Penguasa alam semesta. Namun kesadaran itu seringkali tidak tergambar dalam tindakan-tindakan beribadah kita. Seringkali kita hanya fokus membangun relasi dengan manusia dalam ibadah dan lupa kalau ada Tuhan yang menunggu kita untuk berbicara dan berkomunikasi dengan-Nya. Makanya terlalu gampang kita kecewa dalam ibadah atau terlalu mudah kita kehilangan konsentrasi karena kita tidak ingat bahwa saat itu kita berhadapan dengan karakter-karakter dan Pribadi Allah.

Makanya banyak jemaat yang mengikuti ibadah perayaan Natal dan bahkan terlibat dalam kepanitiaan, tetapi tidak memberikan dampak sama sekali dalam perubahan hidup. Karakter tidak berubah, pola pikir tidak serupa dengan Kristus, tidak mau mengampuni dan bahkan acuh tak acuh dengan kehidupan kerohaniannya. Apakah ibadahnya yang salah? Ataukah individunya yang tidak mengalami perjumpaan dengan Tuhan? Sekiranya ibadah perayaan Natal menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya dengan mengalami kehadiran Kristus, pasti akan bersifat transformasi hidup. Sehingga Natal yang diikuti setiap tahun tidak hanya bersifat kenangan tetapi lebih dari itu memberikan perubahan-perubahan nyata.

Sangat disayangkan kita sudah mengahbiskan dana berjuta-juta, mengorbankan waktu dan tenaga, tetapi Tuhan tidak senang dengan ibadah kita karena kita berelasi dengan yang lain pada saat ibadah berlangsung. Kita berelasi dengan HP, ngobrol dengan orang lain, mencari-cari kesalahan panitia pada saat ibadah, menjadi juri tak terlihat pada saat persembahan pujian, keluar masuk pada saat ibadah berlangsung dan berbagai praktek lainnya yang sejatinya menjauhkan kita dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya semuanya ini akan menjadi alert untuk lebih sungguh-sungguh lagi dalam mengikuti ibadah perayaan Natal.  

 

Ibadah yang disertai rasa CUKUP

          Para gembala ketika berjumpa dengan Sang bayi Natal, itu sudah cukup bagi mereka sebagai bekal dalam mengarungi jalan-jalan hidup mereka ke depannya. Termasuk Maria dan Yusuf ketika menerima firman dari Tuhan melalui Malaikat memberikan gambaran bahwa Penyertaan Tuhan sudah cukup bagi mereka untuk menjalani proses mengandung sampai kelahiran Sang Imanuel. Ibadah Perayaan Natal memang memberikan banyak godaan untuk lebih dan lebih lagi dalam menampilkan sesuatu yang wah dan dapat membekas di sanubari jemaat. Namun pernahkah kita merenungkan bahwa ketika Natal pertama di Alkitab dipenuhi dengan begitu banyak rasa kecukupan dan bahkan lebih dari cukup. Cukup berarti apa yang paling esensial sudah diperoleh dan yang lain tidak lagi penting. Kalau ada syukur, kalau tidak ada pun juga bersyukur. Inilah esensi dari kata Cukup.

Manusia menciptakan simbol-simbol perayaan sebagai ungkapan makna dan penghayatan pada hari kelahiran Anak Allah. Namun seiring berjalannya waktu, justru simbol perayaan tersebut memburamkan esensi sejati Natal itu sendiri. Ibadah menjadi tentang KITA dan bukan tentang Kristus yang adalah Tuhan dalam hidup kita. Tanpa kerendahan hati, perkenaan Tuhan yang seharusnya menjadi sesuatu yang dikejar tetapi pada akhirnya kita terjebak bagaimana ibadah kita mendapatkan apresiasi dari orang-orang yang hadir.

Banyak pantia melakukan berbagai macam cara untuk melakukan pencarian dana supaya memenuhi target proposal yang mereka ajukan. Dan bahkan tidak sedikit pencarian dana Natal kadang menyebrang pulau dan bahkan negara demi membeli pohon Natal yang baru, konsumsi di atas standar, dekorasi yang mewah, baju seragam Paduan suara, dan lain sebagainya. Padahal tanpa pernak Pernik semuanya itu, kita bisa melakukan ibadah Natal. Tanpa lampu kelap kelip, Natal sudah cukup memberikan pengahrapan dan kedamaian. Tanpa seragam atau baju baru, Natal sudah cukup membaharui hati kita yang kotor dan najis. Esensi ibadah Natal bukan terletak pada pernak Pernik dekorasi, tetapi Allah memberi Hadiah Terbesar bagi dunia sudah cukup menjadi solusi dari begitu banyak persoalan dunia.

          Tuhan adalah gembalaku, itu sudah cukup memberikan rasa damai dan aman. TUhanlah yang paling esensial dan kita butuhkan. Kehadiran-Nya sudah cukup memandu kita dalam mengalami Ibadah perayaan Natal yang sesungguhnya. Hal ini ditegaskan juga oleh Rasul Paulus kepada Timotius bahwa “memang ibadah itu kalau disertai dengan rasa cukup, memberi keuntungan besar”. Joas Adiprasetya mengatakan bahwa “Cara hidup kitalah yang membuktikan, apakah Tuhan sudah cukup buat kita dan apakah Tuhanlah yang mencukupkan kebutuhan kita. Memperoleh Tuhan adalah cara hidup minimal yang harus kita miliki sekaligus maksimal yang bisa membuat kita berbahagia menikmati ibadah perayaan Natal.

Akhirnya Perry F.Webb mengingatkan kita bahwa: “If you leave church with your faith stronger, your hope brighter, your love deeper, your sympathies broadened, your heart puerer, and your will more resolute to do the will of God than you have truly worshiped” (Jika engkau pulang dari gereja dengan iman yang lebih kuat, harapan yang lebih cerah, kasih yang lebih mendalam, kepedulian yang lebih luas, hati yang lebih murni, dan kehendak yang lebih mantap untuk melakukan kehendak Tuhan, maka engkau sungguh-sungguh beribadah). Kembali pada pertanyaan topik di atas, masihkah Ibadah Perayaan Natal menampilkan wajah Natal yang sesungguhnya? Semoga setiap kita individu yang tergabung dalam ibadah komunal dapat mempersenteskan wajah Natal seperti respons Maria dan para gembala terhadap Sang Putra Natal. Semoga sepulangnya kita dari Ibadah Perayaan Natal akan memberikan sukacita, semangat baru untuk mengasihi Tuhan, semangat mengenakan karakter Kristus, dan menjadi berkati bagi banyak orang.  Selamat Natal 2024

 

Berikut Sebuah Refleksi penulis tentang hasil survey responden mengenai Ibadah Perayaan Natal, yang tentunya tidak bisa dijadikan dasar mutlak sebagai representasi dari umat yang beribadah, tetapi paling tidak memberikan catatan khusus supaya Ibadah perayaan berjalan dengan tertib dan memberkati kita semua.  

1.     Semangat mengikuti Ibadah Perayaan Natal masih cukup tinggi, dan tentunya ini menjadi momen yang sangat baik dan sekaligus sebagai tantangan untuk menghadirkan wajah Natal yang sesungguhnya dalam setiap Ibadah

2.     Sebagian besar responden telah merencakan dan mempersiapkan diri mengikuti ibadah perayaan Natal dengan hadir tepat waktu dan mengikuti kegiatan sampai selesai.  Walaupun ada beberapa responden yang mengusulkan Ibadah perayaan Natal jangan terlalu lama dan kalau boleh waktunya dapat diatur dengan baik

3.     Moment paduan suara pada saat ibadah perayaan Natal masih mendapatkan tempat yang special di mata jemaat, baik jemaat yang mendengarkan maupun anggota paduan suara tersebut. Semangat bernyanyi dalam paduan suara masih cukup tinggi. Hal ini menjadi peluang besar untuk menjadikan komunitas anggota paduan suara memberikan dampak pertumbuhan iman bagi anggotanya

4.     Khotbah dalam ibadah perayaan Natal mendapatkan rating yang sangat tinggi. 100% jemaat fokus mendengarkan khotbah dan bahkan sebagian besar jemaat memiliki kebiasaan membahas materi khotbah Natal setelah ibadah selesai. Walaupun perlu dilakukan pendalaman lagi apakah pembahasannya mencari kesalahan pengkhotbah, memuji penyampaian khotbah ataukah mereka membahasakan ulang materi khotbah kepada orang lain. Hal ini tentunya memberikan semangat para pengkhotbah Natal untuk mempersiapkan materi khotbah dengan baik.

5.     Bunyian alat musik dalam Ibadah juga mendapatkan persentase yang tinggi, mungkin saja para tim altar telah mempersiapkan sedemikian rupa, sehingga bunyi-bunyian alat musik menolong jemaat untuk bernyanyi. Namun beberapa jemaat mengusulkan musik dalam Ibadah harus ditempatkan secara proporsional juga, jangan sampai mendominasi seluruh ibadah perayaan Natal

6.     Persoalan klasik dalam setiap event Natal adalah masalah sound system yang sering bermasalah, banyak responden yang mengeluhkan sound system yang bermasalah dan bahkan dari hasil survey sebagian besar  Pendeta-Guru Injil  tidak menikmati sound system sebagaimana yang diharapkan. Mungkin sudah waktunya dalam melakukan budgeting Natal, harus ada dana untuk penyewaan/pengadaan sound system. Apalagi ditambah dengan suasa Tempat Ibadah Natal yang tidak terlalu nyaman, diperlukan pengeras suara yang mumpuni untuk mendukung kelancaran acara dengan baik.

7.     Sebagian responden rupanya kadang kala mengomentari konsumsi dalam Ibadah Natal. Hal ini menjadi tantangan bagi kita untuk memberikan pemahaman yang sesungguhnya bahwa Natal tidak identic dengan makanan. Kalaupun ada itu adalah bonus alias aksesoris dari Natal itu sendiri. Walaupun sebagian juga tidak mempermasalahkan apakah konsumsinya enak atau tidak. Hal ini Kembali kepada setiap individu.

8.     Ibadah Natal merupakan moment sekali setahun dan ekspektasi responden mengharapkan ibadah ini dapat diatur dan direncanakan sebaik mungkin untuk menampilkan sesuatu yang baru dan tidak membosankan sehingga memberikan kesan tersendiri dalam setiap Ibadah Natal. Pengadaan doorprize adalah hal yang menarik namun tetap memperhatikan waktu dan jangan dipaksakan kalau keadaan tidak memungkinkan

9.     Satu hal yang menarik sekitar 80% responden sering dan kadang-kadang mengajak orang lain mengikuti ibadah Natal di gerejanya. Hal ini menggambarkan bahwa daya Tarik Natal sangat efektif untuk memperkenalkan Kristus kepada jemaat. Di beberapa gereja lokal, momen Ibadah Perayaan Natal dijadikan wadah Ibadah KKR dan Penginjilan.

10. Godaan menggunakan HP dan ngobrol ke orang lain pada saat Ibadah, masih cukup tinggi. Hal ini perlu diantisipasi dan diingatkan terus ke jemaat supaya memaksakan diri untuk tidak tergoda dengan hal-hal tersebut yang membuat ibadah perayaan Natal tidak menjadi berkat. Kadang kala kita mengkritik anak muda yang bermain HP pada saat Ibadah, yang sesungguhnya terjadi juga di kalangan Majelis dan gembala ketika Ibadah berlangsung. Saran ekstrim dari saya kalau tidak terlalu penting, biarkan HP kita tinggal di rumah atau di kendaraan supaya tidak mengganggu dalam ibadah.